Kebangkitan K-pop menjadi kekuatan budaya global secara dramatis mengubah cara musik, mode, dan hiburan diproduksi dan dikonsumsi. Dengan basis penggemar internasional yang terus bertambah, banyak perusahaan kini menyesuaikan produk, merchandise, album, dan terutama lagu-lagu mereka agar menarik bagi audiens non-Korea.
Namun, tidak semua orang melihat ini sebagai kemajuan. Beberapa penggemar lama berpendapat bahwa K-pop telah kehilangan pesona aslinya, keunikan yang dulunya membuatnya begitu menarik dan khas Korea terasa lebih sulit ditemukan sekarang.
Salah satu perubahan paling mencolok adalah meningkatnya rilis lagu-lagu berbahasa Inggris. Makin banyak grup idola mengeluarkan single sepenuhnya dalam bahasa Inggris, meskipun mereka dipromosikan sebagai artis Korea. Pergeseran ini membuat sebagian penggemar mempertanyakan apakah industri memprioritaskan daya jual global ketimbang identitas budaya.
Dulu, grup-grup merangkul konsep yang unik, tak terduga, dan berani. Pikirkan SHINee selama era ‘Sherlock’, 2NE1 dengan mode yang melanggar aturan dan sikap garang mereka, atau TVXQ di era ‘Triangle’ yang dramatis. Bahkan grup seperti T-ara memberikan momen tak terlupakan dengan mega hit seperti ‘Roly Poly’ dan ‘Bo Peep Bo Peep’.
Lagu-lagu ini bukan hanya menarik, mereka datang dengan seluruh dunia penceritaan, nuansa teatrikal, dan keberanian untuk tampil berbeda. Jadi, ke mana perginya energi itu?
Bagi banyak orang, kekhasan itulah yang awalnya menarik mereka ke K-pop. Tapi kini, seiring makin terintegrasi dengan musik Barat arus utama, fans melihat lebih banyak kolaborasi internasional dan elemen K-pop tradisional makin sedikit.
Alih-alih suara khas Korea, kita mendapat trek pop yang halus yang bisa saja dari tangga lagu Amerika atau Inggris mana pun.
Sebagian berpendapat bahwa pergeseran ini wajar dan alami. K-pop, sejak awal kemunculannya, memang mengambil inspirasi dari genre Barat, entah itu vokal R&B di akhir 90-an, meningkatnya elemen hip-hop di tahun 2000-an, atau suara berbasis EDM yang mendominasi sebagian besar tahun 2010-an. Dari sudut pandang ini, perubahan hari ini adalah bagian dari evolusi panjang, bukan kehilangan budaya. Saat audiens K-pop meluas di luar Korea, beradaptasi dengan selera global mungkin tampak seperti langkah cerdas, bahkan bisa dibilang perlu.
Namun, tidak semua melihatnya seperti itu. Bagi sebagian penggemar, inti K-pop bukan cuma soal penampilan apik atau beat trendi. Itu adalah perpaduan unik Korea: penceritaan, kreativitas visual, dan keunikan budaya yang membedakannya.
Yang membuat K-pop tak terlupakan adalah rasa khasnya: pilihan busana berani, konsep eksperimental, dan identitas musik yang berakar pada bahasa Korea. Saat beberapa grup beralih ke album full bahasa Inggris, estetika generik, dan produksi gaya Barat, penggemar lama khawatir bahwa apa yang membuat K-pop terasa beda perlahan menghilang.
Jadi, ini pertanyaan besarnya: Apakah K-pop menjadi terlalu kebarat-baratan, atau hanya sedang makin dewasa seiring audiens globalnya meluas? Dan yang lebih penting, mungkinkah ada keseimbangan – di mana inovasi dan pertumbuhan internasional tidak mengorbankan otentisitas dan jiwa budaya?